Rabu, 26 Februari 2014

Bait-Bait itu Lagi


            Untuk ke sekian kalinya aku berada di titik jenuh. Bahkan tuk sekedar mengaji diniyyah seperti malam-malam biasanya pun aku enggan. Padahal nahwu lho pelajarannya. Ya justru karena nahwu itu. Aku DOWN!!! Aku sakit hati pada sikapku sendiri selama ini.
 Sejak aku tertarik membaca lagi bait-bait alfiyah, kemudian aku memposting catatan tentang bait-bait alfiyyah itu di blogku, hatiku mulai terbuka. Sepertinya aku siuman dari kebodohanku, meskipun sekarang masih bodoh, setidaknya sekarang lebih sadar. Membaca catatan-catatanku sendiri, terutama: “Di Balik Bait yang Menyentuh Hati 1 dan 2” di blog http://diansofiaa.blogspot.com/ tiba-tiba hatiku ngilu. Sakit sekali rasanya. Aku ingat semangatku di tahun pertama mempelajari karya spektakuler itu. Disediakan waktu tiga tahun untuk mengkhatamkan setoran bait-baitnya, itu pun tak harus 1002, 750 saja sudah lulus. Dan saking semangatnya, aku berambisi mengkhatamkan 1002 bait dalam jangka setahun. Berhasil, bahkan sebelum genap setahun.
            Tambah pilu rasanya, memikirkan betapa hebat mereka yang begitu piawai menerjemahkan bait-bait itu secara filosofis. Sedangkan aku??? Makna murodnya saja sudah di luar kepala (maksudnya hilang, amnesia).
Sampai sekarang, tanganku masih gemetar memegang kitab itu. Aku merasa bersalah. Sangat bersalah.
Ya Allah, aku berharap kebijaksanaan-Mu...
Terserah bagaimana pun keputusan-Mu, yang penting Engku ridho :’(
                                    Jogja, 26 Februari 2014

Minggu, 09 Februari 2014

Kapal Selam


“Belikan kapal selam ya Pak, buat pertemuan.”
“Siap, Bu.”
“Yang di Pak Raden aja, itu lho yang di jalan Surabaya deket rumah Dubes Rusia. Ntar dianterin langsung ke tempat pertemuan di dekat kedutaan Australia.”
“Siap laksanakan, Bu.”
            Syahdan, demikianlah salah satu pembicaraan yang disadap intelijen Australia dari ponsel presiden RI pada tahun 2009. Mereka lalu mentranskrip hasil nguping itu:
            “Indonesia is going to buy 20 super submarine from Rusia. They will be stationed in Surabaya Navy Port, for quick development to attack Australia.”
            Intel Aussie segera mmengirim informasi A#1 (very very secret) itu ke Markas Besar. Menerima laporan tersebut, bos intelijen menerbitkan rekomendasi buat Kementrian Pertahanan: “Agent Recommendation to Australia Ministry of Defense: Tap the 1st lady’s phone as well! She is the strategic military planner.”
            Beberapa hari kemudian Dephan Australia segera menggelar perkara dengan membentangkan peta perairan Indonesia di seputar Pangkalan Laut Surabaya melalui layar proyektor.
            Namun tak ada satu pun sinyal yang menunjukkan keberadaan atau pergerakan kapal selam di teritorial Indonesia itu. Di-close up setiap inci sampai sedetil-detilnyam, tetap saja 20 kapal selam dimaksud masih misterius. Para pakar telik sandi dan Angkatan Laut Australia geregeten dibuatnya.
            Di puncak frustasi, mereka lalu memanggil seorang Profesor Indonesianist berkebangsaan Australia untuk memberikan second opinion. Setelah menyimak rekaman pembicaraan hasil sadapan, Sang Profesor berkerut-kerut kening sejenak. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia tertawa ngakak. “Hua, ha ha haaa....”
            You find it, or what wrong with you!” hardik komandan intel sambil mencengkeram kerah baju si profesor.
            Sambil tetap terkekeh, Pak Profesor berkata, “Kalian salah paham, goblok! Kapal selam yang dimaksud adalah sejenis empek-empek, makanan khas Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.”

            Haha... Ini hanya gurauan soal penyadapan yang sedang marak diperbincangkan akhir-akhir ini di negeri kita. Sebenarnya, penyadapan itu wajar. Bukankah dari dulu memang kita sudah tahu kalau disadap. Yang tidak wajar sebenarnya adalah ketika penyadapan itu ketahuan, apalagi sampai dipublikasikan. Soal tindakan apa yang harus dilakukan para petitih itu, hanya masalah keberanian. Karena sejatinya mereka sudah tahu.

Akhir Desember 2013

Selasa, 04 Februari 2014

JILBAB

Pramoedya pernah bertanya:
Mengapa taplak dikenakan di kepala?

Apa dia tidak tahu itu jilbab
Bodoh sekali dia sebagai penulis ternama

Tapi kalau dia bodoh
kenapa bisa masuk penjara
Tapi kalau otaknya bebal,
kenapa menjadi calon penerima Nobel

Atau mungkin dia seorang sufi
Yang terusik melihat kekerdilan hati
Menyaksikan bukan aurat tetapi ditutup rapat
Tak berani lepas menampilkan jati diri
Memandang agama seperti tirani

Atau mungkin dia seorang bijak
Yang terpanggil mengingatkan: Itu tak layak!
Pelindung hempasan pasir wanita gurun
Mengganti terawang kerudung wanita anggun
Memerkosa warisan budaya turun-temurun

Atau mungkin dia budayawan sejati
Yang mempertanyakan seni keindahan diri
Ketika menyaksikan mahkota wanita
Unsur kecantikan karunia Sang Pencipta
Diikat mampat, kusam dikafani

Atau mungkin dia seorang negarawan
Yang khawatir, propaganda dogma telah dilansir
Mengancam eksistensi bangsa yang berdaulat dan bermartabat
Ketika simbol-simbol kelompok eksklusif lebih menonjol
Daripada semangat pluralistik yang perlu dikembangkan

Atau,
Mungkin dia iri
Melihat pembaruan telah terjadi
Wanita muslim berbusana ala biarawati
Menjadi pelayan-pelayan Tuhan, duta religi

Yang pasti dia pemikir, yang karyanya mendunia
Yang jelas, dia sengaja mencari  gara-gara

Kalau begitu pasti dia orang yang pintar
Melempar pernyataan agar otak diputar

Sabtu, 01 Februari 2014

Dosa Apa Aku, Ya Tuhan...



Seumur-umur, belum pernah namanya ikut kompetisi yang melibatkan kecantikan. Pertama, karena saya memang tidak merasa cantik; kedua, ah, tidak kepengen. Dan baru sekali juga yang namanya kompetisi karya tulis menjadikanku repot berkepanjangan. Bayangkan, pokoknya dari awal sudah tidak nabsuuu.
                 Yang kusesali ketika usai babak penyisihan, talent show, ya ampun... Memalukan sekali... Harusnya pertunjukan itu sangat spektakuler, karena aku tak menyiapkan apapun selain pertunjukan itu. Busana, sepatu, dan lain-lain adalah urusan teman-teman komplek. Aku berlatih siang malam, eeeeeeeeeee malah operator salahhhh memutar backsoundnya.
                 Tak habis pikir atas kejadi itu. Baru kali ini ikut lomba tanpa minta doa orang tua. Biasanya, lomba sekecil apapun aku selalu bilang pada ibu dan meminta doanya.
                 Eh lebayee, ini hanya kompetisi pondok. Dan mungkin hanya sekedar hiburan semata. Tapi tetap saja, sekali memalukan tetap memalukan. Dan lebih memalukan kalau aku cerita ini pada ibuku. AAAaaaa, gak mau gak mauuu... Dosa apa aku, Ya Tuhan (kalau ibuku tau).
                 Satu hal yang aku suka dari kompetisi ini adalah ketika aku didandani. Udah, itu to’.
Sekian, terimakasih. Cukup sekali dan tidak mau lagi.