Pidie, 1996
"Subuh itu
biru, Rasyid, kau tahu kan, kenapa?”
“Ya, Nyak
(Ibu)”
“Sebab hanya itu
warna yang cocok. Akan aneh jika berwarna merah, hijau, atau kuning. Tidak ada
lagi warna yang cocok untuk sebuah subuh selain biru. Allah sudah memilihkan
warna yang terbaik.”
Subuh yang biru
menyesakkan kebeningan dari sisa-sisa air wudhu. Rasyid tegak berdiri menghadap
kiblat. Baru saja ia mengangkat tangannya untuk takbiratul ihram…
Brak! Brak! Brak!
Suara gaduh di
luar menghentikan Rasyid, Nyak dan Bapak untuk mendirikan shalat
subuh. Keluarga kecil itu langsung merunduk-runduk ketakutan. Mengintip dari
jendela rumah mereka yang berkaca buram. Gerombolan orang berseragam loreng
dengan senjata laras panjang mondar-mandir di depan rumah penduduk dengan
jumawa. Beberapa orang dari mereka menggedor pintu tiap rumah dan memaksa semua
orang termasuk keluarga Rasyid keluar sambil dipopor senjata. Rasyid bergidik
ngeri, bagaimana jika jari orang berseragam loreng itu bergeser sedikit saja,
tak sengaja menarik pelatuk? Ah, tentu saja orang yang dipopor senjatanya akan
mati dan mereka akan berlalu tak peduli.
Tak berapa lama
Rasyid, Nyak dan Bapak sudah berlutut di depan bersama warga lainnya.
Mereka berlutut membentuk lingkaran, mengelilingi sebuah keluarga. Para tentara
mengepung mereka sambil terus memoporkan senjata dengan posisi siap bidik.
Oh, tidak lagi…
Rasyid
berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Ini pernah
terjadi sebelumnya di Desa Blok Nari, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie ini.
Penyiksaan yang sengaja dilakukan di depan umum oleh gerombolan orang
berseragam loreng terhadap orang-orang yang dicurigai membantu awak ateuh
(istilah untuk GAM), menjadi GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), agar semua orang
takut dan jangan sekali-kali membantu awak ateuh.
“Kalian lihat!”
Sebuah suara
menyentak mereka semua. Orang-orang berseragam loreng itu memaksa semua warga
untuk menatap ‘mangsa’ mereka. Ada yang melengos atau menoleh sedikit
saja karena tak tega menyaksikan penyiksaan langsung ditempeleng bolak balik.
Di dalam subuh yang masih gelap, Rasyid menajamkan penglihatannya berusaha
mencari tahu siapa kali ini korban kebengisan para tentara. Darah Rasyid seolah
tersirap. Gadis itu amat Rasyid kenal. Tak salah lagi, itu Zahra! Dan di
sebelahnya Bang Zul. Allahuma, siapa saja asal jangan mereka… Tubuh
Rasyid kaku menahan tegang. Rasyid berteriak-teriak dalam hati memanggil nama
Allah. Allah jangan mereka! Jangan mereka!
“Mereka ini
membantu GAM! Beginilah balasan yang akan kalian dapat jika kalian berani
membantu GAM!”
Tidak
mungkin! Bang Zul orang baik, pemuda yang bersahaja dan Zahra adalah
sahabatnya…. tidak mungkin mereka terlibat awak ateuh! Protes Rasyid hanya
menggema dalam hatinya saja. Begitu juga warga lainnya sebab mereka terlalu
takut untuk membela. Bicara sedikit saja nyawa lah taruhannya.
Kakak beradik itu
mencoba berontak, namun tiap kali berontak tendangan sepatu bot tentara
menghantam mereka. Zahra dan Zulfikar menangis tanpa air mata. Rasyid menatap
nanar itu semua, sekuat tenaga menahan tangis. Ia melihat Zahra dipenuhi
sekujur luka karena tergores-gores ujung bayonet yang tajam. Rasyid meringis
tak tahan melihatnya, berkali kali menutup mata. Bang Zul pun diperlakukan tak
kalah sadis. Bagian vitalnya ditendang karena ia berusaha menutupinya. Bang
Zul, Zulfikar nama lengkapnya, adalah pemuda shaleh yang selalu jadi muadzin di
gampong (kampung) ini. Dia baru saja lulus dari pesantren dan kini mengabdi
menjadi guru ngaji di balee (tempat pengajian berupa balai) merangkap
da’i.
“Biadab kalian
semua!” teriak Bang Zul melampiaskan rasa sakitnya.
Beberapa orang
tentara langsung kebakaran jenggot dan beramai-ramai mendekati Bang Zul.
Sebentar lagi tamatlah riwayatnya.
“Dan kau GAM!
Bangsat! Mengkhianati negeri ini!”
“Aku bukan GAM!”
Komandan pasukan
muntab. Tanpa banyak cincong ditendangnya wajah Bang Zul berkali-kali hingga
wajah yang memiliki tanda sujud di kening itu tak lagi berbentuk. Darah
mengucur deras dari hidung, pipi, dan dahinya.
“Masih berani kau
melawan, heh?!”
“Ya! Aku tak
takut padamu, keparat! Aku hanya takut pada Allah!”
Suara Bang Zul
masih saja lantang meski mulutnya sudah babak belur. Seluruh warga terdiam
pasrah. Tak ada yang berani membela. Beberapa orang di samping Rasyid sudah ditempeleng
karena mencoba memalingkan wajah sebab tak tahan melihat. Rasyid menatap Zahra
dan Bang Zul silih berganti dengan hati pilu, tak kuasa menyaksikan itu semua.
Kekejaman seperti inikah… apa orang-orang berseragam loreng itu manusia? Ya,
mereka itu manusia. Hanya manusia yang bisa berlaku sangat kejam dan melampaui
batas pada sesama manusia.
Seorang aparat
menendang pangkal paha Bang Zul hingga tersungkur. Bang Zul tak berdaya lagi
melawan. Hanya asma Allah berulang-ulang bergetar dari bibirnya sementara para
aparat itu tertawa seperti orang gila. Kebrutalan mereka makin menjadi. Semua
warga yang melihat berharap tak pernah dilahirkan, atau setidaknya, mati saja
sekalian agar tidak terus-menerus menonton penyiksaan biadab ini.
Tiba-tiba Bang
Zul tegak lagi. Kedua tangannya yang terikat menunjuk-nunjuk langit. Para
aparat menghentikan tawanya.
“Lihat! Lihat
manusia laknat! Lihat di atas sana! Allah menyaksikan ini semua! Allah yang
jadi saksi! Lihat! Allah melihat kita semua, melihat kalian, semua perbuatan
terkutuk kalian… Allah Maha Melihat!”
Beberapa aparat
saling berpandangan. Komandan penangkapan memberi isyarat pada salah satu
bawahannya. Bawahannya mengangguk mengerti, lalu mengambil sebuah solder
listrik. Bang Zul gentar. Mereka akan menyetrumnya! Allah!
Sementara Bang
Zul gemetaran, komandan tentara itu mendekat dengan dagu terangkat. Tangannya
memain-mainkan solder sambil menyeringai bak serigala.
“Allah! Allah!
Allah! ”seru Bang Zul berkali-kali.
“Lihat?! Allah
tidak menjawabmu! Dia tidak sudi melihatmu! Hahaha!”
“Tidak ada
Tuhan hari ini…,” kata komandan itu dengan tenang. Wajahnya penuh kemenangan
ketika menyetrum tubuh Bang Zul. Bang Zul berteriak melolong-lolong.
Lolongannya disambut tawa para aparat. Dalam beberapa menit saja, arus listrik
itu mengantarkan jiwa Bang Zul dari raganya.
Zahra histeris,
meraung-raung memanggil nama kakak semata wayangnya. Satu-satunya keluarga yang
ia miliki sebab kedua orang tua mereka sudah lama meninggal dunia. Zahra
berontak berusaha melepaskan diri. Ia ingin mati saja bersama Bang Zul.
“Bang…. Bang!
Tunggu Dek Nong (panggilan sayang untuk adik perempuan), Baaang!
Biadab! Keparat! Tunggulan azab Allah pada kalian! Huhuhu…,” Zahra terus
meronta-ronta seperti orang kesurupan.
“Bawa dia ke Rumoh
Geudong (markas aparat)!”
Tangisan Zahra
terhenti ketika salah seorang tentara berinisiatif memukul kepalanya dengan
senapan. Zahra pingsan. Tak berapa lama, orang-orang kejam itu berlalu dengan
angkuh dan wajah puas sambil membawa Zahra pergi. Menyisakan isak tangis pilu
dan trauma berkepanjangan di benak jema kampong (orang kampung) yang
menyaksikan itu semua.
Rasyid menatap
bayangan Zahra bersimbah darah yang semakin menjauh. Lalu Rasyid menatap tubuh
Bang Zul kaku tak bergerak lagi. Rahang Rasyid mengeras penuh kegeraman dan
murka. Hari itu adalah kali terakhir Rasyid melihat Zahra dan Bang Zul.
Barangkali aparat itu benar, tak ada Tuhan hari itu.
***
Pidie, 1987
Langit sore kaya
warna. Dua anak kecil berusia sekitar tujuh tahun berjalan-jalan dengan riang
selepas mengaji di balee. Mereka biasa mengaji ba’da Ashar hingga
menjelang Maghrib. Suasana hati mereka sedang gembira sebab hari ini mereka
dinyatakan lulus Iqra 6. Itu artinya mulai besok mereka bisa lanjut membaca
Al-Quran. Membaca Al-Quran adalah kebanggan tersendiri… oh alangkah senangnya!
“Rasyid,
bagaimana kalau kita bersaing siapa yang lebih cepat khatam Quran?” tanya Zahra
kecil. Tangan kirinya merapikan kerudung sedangkan tangan kanannya menggenggam
Buku Iqra erat-erat.
“Get
(baik), siapa takut?!” jawab Rasyid sambil membentuk jarinya menyerupai pistol
dan meniupnya, menirukan gaya koboi yang ia lihat di TVRI semalam.
“Benar ya… yang
kalah harus traktir kerupuk kecap Tek Risa!”
Rasyid
menimbang-nimbang. Kerupuk kecap Tek Risa makin mahal saja sekarang, tapi… “Ya,
tak apalah!”
Tiga bulan
kemudian…
“Horeee! Aku
menang!” Zahra berseru senang. Zahra sudah lebih dulu khatam Qur'an, sedangkan
Rasyid baru saja menginjak juz 30. Rasyid tersenyum masygul. Diperiksanya
kantong celananya, menghitung-hitung apakah uangnya cukup untuk mentraktir
Zahra makan kerupuk kecap Tek Risa.
“Selamat ya,
Zahra. Nanti aku traktir kamu kerupuk kecap,” janji Rasyid.
“Teurimong
gaseh (Terima kasih)!” kata Zahra penuh kemenangan. Senyum tak lepas-lepas
dari bibirnya. Membayangkan nikmatnya makan kerupuk kecap, ditraktir pula!
“Rasyid, kamu
sudah juz 30, kan?” tanya Zahra suatu ketika mereka pulang dari balee.
“Ya”
“Nanti kamu akan
bertemu dengan Surat Ad-Dhuha. Surat itu baguuuus sekali!”
Lalu Zahra
menjawabnya dengan bercerita, cerita yang tak pernah Rasyid dengar sebelumnya.
Cerita ini hanya Zahra bagikan pada sahabatnya.
“Sebelum membaca
Surat Ad-Dhuha, jangan bilang siapa-siapa ya… aku memetik bunga di kebun Datuk
Mahmud. Aku merasa bersalah sekali. Aku takut dosa dan dimasukkan neraka. Lalu
kemudian ketika aku mengaji malamnya, aku membaca Surat Ad-Dhuha. Subhanallah,
isinya membuatku tenang, tidak takut lagi karena di surat itu Allah berkata, Tuhanmu
tiada meninggalkanmu dan tiada pula membencimu. Maka aku tidak takut lagi,
lalu aku mengaku dan mengembalikan bunga itu pada Datuk Mahmud. Tetapi anehnya
beliau justru tertawa. Aku juga suka baca Surat Ad-Dhuha kalau sedang kangen
Umi dan Abi… Allah berkata di surat itu, Bukankah Dia mendapatkanmu dalam
keadaan yatim, lalu Dia melindungimu.”
Saat itulah
pertama kali Rasyid melihat Zahra menitikkan air mata mengingat kedua orang
tuanya yang telah tiada. Persahabatan keduanya semakin erat, dari kecil hingga
mereka beranjak remaja, mereka selalu belajar di sekolah yang sama. Rasyid dan Zahra
pun masih sering mengobrol dan belajar bersama. Tentu saja tidak berkhalwat
(berdua-duaan) di kebun seperti waktu kecil dulu. Rasyid biasa berkunjung ke
rumah Zahra jika Bang Zul sedang ada di rumah. Mereka mengobrol bertiga dengan
Bang Zul.
Suatu ketika,
mereka bertiga keasyikan mengobrol di beranda rumah Zahra sampai menjelang
Maghrib. Karena Bang Zul harus segera mengumandangkan adzan, Rasyid pun tahu
diri pamit.
“Syid, lihat!”
tunjuk Zahra ke arah langit rembang petang. Sinar jingga keemasan mulai berpadu
dengan sutera hitam. Awan berarakan seperti hendak pergi bersama matahari.
Mengantarkan burung-burung kembali ke sarangnya. Satu hari kembali ditutup
dengan dramatis. Denyut sisi hari yang lain dimulai.
“Kenapa langit
sore berwarna jingga, ya?” tanya Zahra sambil menatap langit. Seolah bertanya
pada diri sendiri.
“Nyak-ku
selalu berkata, Subuh itu berwarna biru karena Subuh memang paling cocok
berwarna biru. Itu warna terbaik yang Allah berikan untuk Subuh. Jingga pasti
juga warna terbaik yang Allah berikan untuk sore,” Rasyid ikut menengadah
menatap langit, “Tak peduli betapa sempurna suatu hari, toh akan berakhir juga”
“Ah, pepatah
Inggris kuno!” Zahra mengibaskan tangannya, “Dan sungguh akhir itu adalah
lebih baik bagimu daripada permulaan”
“Ad-Dhuha ayat
empat,” Rasyid tersenyum. Zahra masih seperti bertahun-tahun dulu, surat
favoritnya adalah Surat Ad-Dhuha.
“Assalamu'alaikum,”
Rasyid berbalik pergi.
“Wa'alaikumussalam,
Rasyid.”
***
Banda Aceh, 2000
Rasyid menyenangi
ibu kota provinsi yang lebih terlihat seperti kota kecil ini. Ia sudah cukup
kerasan tinggal di Banda Aceh, sebab di sini terdapat laut-laut yang indah dan
menarik seperti Lhok Nga yang berpasir putih dengan karangnya yang terkenal,
Lampu’uk, Ujong Batee, bahkan Krueng Aceh. Dan tentu saja relatif lebih aman…
Rasyid menelan
ludah. Luka empat tahun lalu itu belum sirna jua. Menggoreskan trauma mendalam
dan sakit hati luar biasa. Dua hari setelah penyiksaan terhadap Bang Zul dan
Zahra, keluarga Rasyid langsung meninggalkan rumah mereka begitu saja di Pidie,
pindah ke rumah salah satu kerabat mereka di Banda Aceh, memulai hidup baru. Nyak
dan Bapak sangat takut Rasyid akan menjadi sasaran --> sebab ia bersahabat
dekat dengan Bang Zul dan Zahra, meski mereka semua tahu Bang Zul dan Zahra
tidak bersalah apalagi terlibat awak ateuh. Kemungkinan besar mereka
diciduk karena dakwah Bang Zul yang vokal mengkritik DOM (Daerah Operasi
Militer) dan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap rakyat sipil dalam
pembasmian GPK. Begitu juga Zahra yang pernah beberapa kali menulis artikel di
koran lokal menyoroti tentang kekerasan yang dilakukan aparat di Kabupaten
Pidie. Hingga sekarang, Rasyid tak tahu Zahra berada di mana. Entah masih hidup
atau sudah mati. Jika sudah meninggal, belahan bumi manakah yang mendekap
jasadnya? Rasyid tak tahu.
Sejak peristiwa
tragis itu, bulan-bulan pertama Rasyid lalui dalam kedukaan yang sangat akan
dua sahabat terbaiknya. Selama beberapa lama Rasyid mengalami trauma, merinding
ketakutan tiap kali melihat orang berseragam loreng dan histeris tiap kali
mendengar suara gedoran di pintu. Rasyid tak lagi berani menonton film laga,
sebab semua adegan di film-film itu membangkitkan ingatannya akan adegan
penyiksaan Bang Zul dan Zahra di subuh yang gelap. Rasyid depresi.
Setahun
setelahnya, Rasyid perlahan kembali menata hidup. Ia kembali belajar dengan
giat hingga akhirnya ia berhasil masuk Universitas Syah Kuala. Bapak mendapat
pekerjaan baru di Banda Aceh. Kini keluarga Rasyid dapat mencicil sebuah rumah
mungil di pusat kota Banda Aceh sehingga mereka tak perlu lagi menumpang pada
kerabat. Kejadian di Pidie perlahan terlupakan, seiring pencabutan status DOM
di Aceh dan semangat baru reformasi. Berbagai kasus pelanggaran HAM seperti
yang dialami Bang Zul dan Zahra, lama-kelamaan di-peti es-kan. Begitu juga
Rasyid, tak mau lagi membicarakan peristiwa itu. Bapak dan Nyak pun
tak mengungkit lagi peristiwa itu sebab takut Rasyid kembali depresi.
Meski hidupnya
kembali tertata, Rasyid tahu semuanya tak lagi sama bagi dirinya. Ia mengalami
krisis kepercayaan terhadap Tuhan. Imannya tergoncang hebat. Rasyid tak akan
pernah lupa, ketika Bang Zul memanggil-manggil Allah dan akhirnya aparat-aparat
biadab itu tetap dapat membakarnya. Saat itu Rasyid dan seluruh warga juga
memanggil-manggil Allah… namun mengapa pertolongan Allah tak datang? Jika
seperti yang Bang Zul katakan bahwa Allah Maha Melihat, mengapa Allah tak
menurunkan azab pada para iblis itu? Bang Zul yang mengabdikan seluruh hidupnya
untuk Allah, menghiasi malam-malamnya dengan sujud hingga membekaskan tanda di
keningnya… mengapa Allah seolah tak sudi mendengar ratapannya?
Kembali, adegan
itu bagaikan sebuah slide film yang terus diputar ulang otaknya, membuat Rasyid
makin mempercayai kata-kata komandan penangkapan waktu itu: Tuhan tidak ada
hari itu. Atau mungkin Tuhan memang tidak ada, pikir Rasyid geram. Batin
Rasyid tersayat setiap kali mengingat Zahra yang begitu mencintai Rabb-Nya,
rajin ibadah dan bertakwa… mengapa Allah tak mengasihaninya barang sedikit pun?
Dan megahnya
Masjid Raya Baiturrahman tak menggerakkan hati Rasyid untuk sekali pun
berkunjung ke sana. Untuk apa? Rasyid sudah tak pernah lagi mendirikan shalat.
Rasyid tak pernah lagi menyebut nama Allah.
***
Banda Aceh, Awal
Januari 2005
Kota yang ia
sukai itu luluh lantak tanpa sisa. Benar-benar tanpa sisa. Bahkan untuk
dirinya. Rasyid terseok-seok melangkah di antara puing-puing bangunan.
Tangannya mengais-ngais setiap jenazah, membolak-baliknya, berharap itu adalah
jenazah Nyak atau Bapak. Rasyid terus mencari dan mencari hingga
kakinya mati rasa, tak kuat lagi melangkah. Detik itulah Rasyid kembali
menangis sejadi-jadinya.
Ya Allah,
cobaan apa lagi yang hendak Engkau berikan padaku? Sampai kapan Engkau akan
mengujiku? Apa salahku hingga Engkau memporak porandakan nasibku? Inikah
hukuman dari-Mu setelah sekian lama aku mengkhianati-Mu? Cukup, ya Allah,
cukup…
Ribuan nyawa
melayang dalam satu hentakan gelombang air yang amat dahsyat. Bumi yang
berderak hebat dengan gemuruhnya seolah sedang dijungkir balikkan oleh Tuhan.
Seolah itulah saat mencicipi kiamat. Dunia mengingatnya sebagai Tsunami
terparah abad itu.
Rasyid tak akan
pernah lupa ketika ia terus berlari menyelamatkan diri dan sempat menengok ke
belakang, gelombang air yang tinggi dan ganas mengejarnya seolah menunjuk-nunjuk
batang hidung Rasyid sendiri,
“Ini kuasa Tuhanmu yang engkau dustakan!
Lihatlah, apa kau berdaya sekarang jika Ia hancurkan alam semesta dan dirimu?
Kau akan mati dengan cara seperti Fir’aun!” Tanpa sadar saat itu Rasyid
berdoa dalam hati, minta diselamatkan, minta diberi kesempatan, minta diampuni,
seperti manusia pada umumnya.
Rasyid terus
berjalan dan berjalan dengan tertatih. Entah berapa lama sudah ia berjalan,
semakin jauh dari tenda pengungsian yang ia tempati selama seminggu terakhir.
Tahu-tahu Rasyid sudah semakin dekat pusat kota Banda Aceh dan kakinya terpaku
di tempat. Rasyid terkesiap, seolah kini tubuhnya tanpa rangka. Hilang bentuk.
Di kejauhan ia
lihat Masjid Raya Baiturrahman masih tegak berdiri…
Detik itulah,
Rasyid merasa Zahra dengan kerudung putih dan gamis putih berdiri dekat sisinya
sambil menenteng mushaf yang biasa ia dekap dulu ketika pergi mengaji ke balee.
Zahra membuka lembaran mushaf itu, dan suaranya yang merdu melantunkan sebuah
surat.
Demi Dhuha
Di waktu Dhuha,
saat matahari sepenggalah naik, bukankah Allah menunjukkan kuasa-Nya di
hadapanmu, Rasyid? Bencana itu terjadi pada waktu Dhuha bukan tanpa sebab. Air
mata menitik di sudut mata Rasyid.
Dan demi
malam apabila telah sunyi
Tuhanmu tiada
meninggalkanmu dan tiada pula membencimu...
“Lihat Rasyid,
Allah masih mencintaimu, menyelamatkanmu, meski kau membenci-Nya” Rasyid merasa
seakan-akan Zahra sedang berbicara dengan pendapat-pendapat kritisnya seperti
saban sore dulu.
Dan sungguh
akhir itu adalah lebih baik bagimu daripada permulaan.
Dan kelak
Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya padamu, lalu hatimu menjadi puas
“Sebagaimana aku,
percayalah pada janji Allah, Rasyid” Zahra tersenyum. Ujung kerudung putihnya
melambai-lambai tertiup angin.
Bukankah Dia
mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
“Kini kita
sama-sama anak yatim, Rasyid. Tak punya siapa-siapa lagi. Tapi kita masih punya
Allah,” kata Zahra dengan nada suaranya yang selalu terdengar optimis.
Dan Dia
mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia menunjukkanmu
Dan Dia
mendapatimu kekurangan, lalu Dia memberimu kecukupan...
Pertahanan Rasyid
akhirnya roboh. Ia jatuh terduduk, menangis tergugu sambil menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Tak kuasa Rasyid menahan, perlahan tubuhnya ikut
menunduk, menunduk… dan jatuh dalam sujud. Rasyid mengaku kalah, Rasyid telah
menyerah. Air matanya bercucuran tanpa henti memanggil-manggil nama Allah dalam
sedu sedan. Allah, Allah, ini aku kembali pada-Mu ya Allah… aku telah pulang
setelah pergi jauh… aku percaya sebagaimana Engkau memberi warna terbaik untuk
subuh, seperti itulah Engkau telah memilihkan hidup terbaik untukku...
*Sekian*
Karya: Sarah Annisa
Sumber: Annida Online
Ini adalah salah satu cerpen yang membuat saya katarsis membacanya. Entah bagaimana dengan orang lain...
Ini adalah salah satu cerpen yang membuat saya katarsis membacanya. Entah bagaimana dengan orang lain...