Sabtu, 22 Maret 2014

SUBUH ITU BIRU



Pidie, 1996
"Subuh itu biru, Rasyid, kau tahu kan, kenapa?”
“Ya, Nyak (Ibu)”
“Sebab hanya itu warna yang cocok. Akan aneh jika berwarna merah, hijau, atau kuning. Tidak ada lagi warna yang cocok untuk sebuah subuh selain biru. Allah sudah memilihkan warna yang terbaik.”

Subuh yang biru menyesakkan kebeningan dari sisa-sisa air wudhu. Rasyid tegak berdiri menghadap kiblat. Baru saja ia mengangkat tangannya untuk takbiratul ihram…
Brak! Brak! Brak!
Suara gaduh di luar menghentikan Rasyid, Nyak dan Bapak untuk mendirikan shalat subuh. Keluarga kecil itu langsung merunduk-runduk ketakutan. Mengintip dari jendela rumah mereka yang berkaca buram. Gerombolan orang berseragam loreng dengan senjata laras panjang mondar-mandir di depan rumah penduduk dengan jumawa. Beberapa orang dari mereka menggedor pintu tiap rumah dan memaksa semua orang termasuk keluarga Rasyid keluar sambil dipopor senjata. Rasyid bergidik ngeri, bagaimana jika jari orang berseragam loreng itu bergeser sedikit saja, tak sengaja menarik pelatuk? Ah, tentu saja orang yang dipopor senjatanya akan mati dan mereka akan berlalu tak peduli.
Tak berapa lama Rasyid, Nyak  dan Bapak sudah berlutut di depan bersama warga lainnya. Mereka berlutut membentuk lingkaran, mengelilingi sebuah keluarga. Para tentara mengepung mereka sambil terus memoporkan senjata dengan posisi siap bidik.
Oh, tidak lagi…
Rasyid berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Ini pernah terjadi sebelumnya di Desa Blok Nari, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie ini. Penyiksaan yang sengaja dilakukan di depan umum oleh gerombolan orang berseragam loreng terhadap orang-orang yang dicurigai membantu awak ateuh (istilah untuk GAM), menjadi GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), agar semua orang takut dan jangan sekali-kali membantu awak ateuh.

“Kalian lihat!”
Sebuah suara menyentak mereka semua. Orang-orang berseragam loreng itu memaksa semua warga untuk menatap ‘mangsa’ mereka.  Ada yang melengos atau menoleh sedikit saja karena tak tega menyaksikan penyiksaan langsung ditempeleng bolak balik. Di dalam subuh yang masih gelap, Rasyid menajamkan penglihatannya berusaha mencari tahu siapa kali ini korban kebengisan para tentara. Darah Rasyid seolah tersirap. Gadis itu amat Rasyid kenal. Tak salah lagi, itu Zahra! Dan di sebelahnya Bang Zul. Allahuma, siapa saja asal jangan mereka… Tubuh Rasyid kaku menahan tegang. Rasyid berteriak-teriak dalam hati memanggil nama Allah. Allah jangan mereka! Jangan mereka!
“Mereka ini membantu GAM! Beginilah balasan yang akan kalian dapat jika kalian berani membantu GAM!”
 Tidak mungkin! Bang Zul orang baik, pemuda yang bersahaja dan Zahra adalah sahabatnya…. tidak mungkin mereka terlibat awak ateuh! Protes Rasyid hanya menggema dalam hatinya saja. Begitu juga warga lainnya sebab mereka terlalu takut untuk membela. Bicara sedikit saja nyawa lah taruhannya.

Kakak beradik itu mencoba berontak, namun tiap kali berontak tendangan sepatu bot tentara menghantam mereka. Zahra dan Zulfikar menangis tanpa air mata. Rasyid menatap nanar itu semua, sekuat tenaga menahan tangis. Ia melihat Zahra dipenuhi sekujur luka karena tergores-gores ujung bayonet yang tajam. Rasyid meringis tak tahan melihatnya, berkali kali menutup mata. Bang Zul pun diperlakukan tak kalah sadis. Bagian vitalnya ditendang karena ia berusaha menutupinya. Bang Zul, Zulfikar nama lengkapnya, adalah pemuda shaleh yang selalu jadi muadzin di gampong (kampung) ini. Dia baru saja lulus dari pesantren dan kini mengabdi menjadi guru ngaji di balee (tempat pengajian berupa balai) merangkap da’i.
“Biadab kalian semua!” teriak Bang Zul melampiaskan rasa sakitnya.
Beberapa orang tentara langsung kebakaran jenggot dan beramai-ramai mendekati Bang Zul. Sebentar lagi tamatlah riwayatnya.
“Dan kau GAM! Bangsat! Mengkhianati negeri ini!”
“Aku bukan GAM!”
Komandan pasukan muntab. Tanpa banyak cincong ditendangnya wajah Bang Zul berkali-kali hingga wajah yang memiliki tanda sujud di kening itu tak lagi berbentuk. Darah mengucur deras dari hidung, pipi, dan dahinya.
“Masih berani kau melawan, heh?!”
“Ya! Aku tak takut padamu, keparat! Aku hanya takut pada Allah!”

Suara Bang Zul masih saja lantang meski mulutnya sudah babak belur. Seluruh warga terdiam pasrah. Tak ada yang berani membela. Beberapa orang di samping Rasyid sudah ditempeleng karena mencoba memalingkan wajah sebab tak tahan melihat. Rasyid menatap Zahra dan Bang Zul silih berganti dengan hati pilu, tak kuasa menyaksikan itu semua. Kekejaman seperti inikah… apa orang-orang berseragam loreng itu manusia? Ya, mereka itu manusia. Hanya manusia yang bisa berlaku sangat kejam dan melampaui batas pada sesama manusia.

Seorang aparat menendang pangkal paha Bang Zul hingga tersungkur. Bang Zul tak berdaya lagi melawan. Hanya asma Allah berulang-ulang bergetar dari bibirnya sementara para aparat itu tertawa seperti orang gila. Kebrutalan mereka makin menjadi. Semua warga yang melihat berharap tak pernah dilahirkan, atau setidaknya, mati saja sekalian agar tidak terus-menerus menonton penyiksaan biadab ini.
Tiba-tiba Bang Zul tegak lagi. Kedua tangannya yang terikat menunjuk-nunjuk langit. Para aparat menghentikan tawanya.

“Lihat! Lihat manusia laknat! Lihat di atas sana! Allah menyaksikan ini semua! Allah yang jadi saksi! Lihat! Allah melihat kita semua, melihat kalian, semua perbuatan terkutuk kalian… Allah Maha Melihat!”
Beberapa aparat saling berpandangan. Komandan penangkapan memberi isyarat pada salah satu bawahannya. Bawahannya mengangguk mengerti, lalu mengambil sebuah solder listrik. Bang Zul gentar. Mereka akan menyetrumnya! Allah!
Sementara Bang Zul gemetaran, komandan tentara itu mendekat dengan dagu terangkat. Tangannya memain-mainkan solder sambil menyeringai bak serigala.
“Allah! Allah! Allah! ”seru Bang Zul berkali-kali.
“Lihat?! Allah tidak menjawabmu! Dia tidak sudi melihatmu! Hahaha!”
 “Tidak ada Tuhan hari ini…,” kata komandan itu dengan tenang. Wajahnya penuh kemenangan ketika menyetrum tubuh Bang Zul. Bang Zul berteriak melolong-lolong. Lolongannya disambut tawa para aparat. Dalam beberapa menit saja, arus listrik itu mengantarkan jiwa Bang Zul dari raganya.
Zahra histeris, meraung-raung memanggil nama kakak semata wayangnya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki sebab kedua orang tua mereka sudah lama meninggal dunia. Zahra berontak berusaha melepaskan diri. Ia ingin mati saja bersama Bang Zul.

“Bang…. Bang! Tunggu Dek Nong (panggilan sayang untuk adik perempuan), Baaang! Biadab! Keparat! Tunggulan azab Allah pada kalian! Huhuhu…,” Zahra terus meronta-ronta seperti orang kesurupan.
“Bawa dia ke Rumoh Geudong (markas aparat)!”
Tangisan Zahra terhenti ketika salah seorang tentara berinisiatif memukul kepalanya dengan senapan. Zahra pingsan. Tak berapa lama, orang-orang kejam itu berlalu dengan angkuh dan wajah puas sambil membawa Zahra pergi. Menyisakan isak tangis pilu dan trauma berkepanjangan di benak jema kampong (orang kampung) yang menyaksikan itu semua.
Rasyid menatap bayangan Zahra bersimbah darah yang semakin menjauh. Lalu Rasyid menatap tubuh Bang Zul kaku tak bergerak lagi. Rahang Rasyid mengeras penuh kegeraman dan murka. Hari itu adalah kali terakhir Rasyid melihat Zahra dan Bang Zul. Barangkali aparat itu benar, tak ada Tuhan hari itu.

***

Pidie, 1987
Langit sore kaya warna. Dua anak kecil berusia sekitar tujuh tahun berjalan-jalan dengan riang selepas mengaji di balee. Mereka biasa mengaji ba’da Ashar hingga menjelang Maghrib. Suasana hati mereka sedang gembira sebab hari ini mereka dinyatakan lulus Iqra 6. Itu artinya mulai besok mereka bisa lanjut membaca Al-Quran. Membaca Al-Quran adalah kebanggan tersendiri… oh alangkah senangnya!
“Rasyid, bagaimana kalau kita bersaing siapa yang lebih cepat khatam Quran?” tanya Zahra kecil. Tangan kirinya merapikan kerudung sedangkan tangan kanannya menggenggam Buku Iqra erat-erat.
Get (baik), siapa takut?!” jawab Rasyid sambil membentuk jarinya menyerupai pistol dan meniupnya, menirukan gaya koboi yang ia lihat di TVRI semalam.
“Benar ya… yang kalah harus traktir kerupuk kecap Tek Risa!”
Rasyid menimbang-nimbang. Kerupuk kecap Tek Risa makin mahal saja sekarang, tapi… “Ya, tak apalah!”

Tiga bulan kemudian…
“Horeee! Aku menang!” Zahra berseru senang. Zahra sudah lebih dulu khatam Qur'an, sedangkan Rasyid baru saja menginjak juz 30. Rasyid tersenyum masygul. Diperiksanya kantong celananya, menghitung-hitung apakah uangnya cukup untuk mentraktir Zahra makan kerupuk kecap Tek Risa.
“Selamat ya, Zahra. Nanti aku traktir kamu kerupuk kecap,” janji Rasyid.
Teurimong gaseh (Terima kasih)!” kata Zahra penuh kemenangan. Senyum tak lepas-lepas dari bibirnya. Membayangkan nikmatnya makan kerupuk kecap, ditraktir pula!
“Rasyid, kamu sudah juz 30, kan?” tanya Zahra suatu ketika mereka pulang dari balee.
“Ya”
“Nanti kamu akan bertemu dengan Surat Ad-Dhuha. Surat itu baguuuus sekali!”
Lalu Zahra menjawabnya dengan bercerita, cerita yang tak pernah Rasyid dengar sebelumnya. Cerita ini hanya Zahra bagikan pada sahabatnya.
“Sebelum membaca Surat Ad-Dhuha, jangan bilang siapa-siapa ya… aku memetik bunga di kebun Datuk Mahmud. Aku merasa bersalah sekali. Aku takut dosa dan dimasukkan neraka. Lalu kemudian ketika aku mengaji malamnya, aku membaca Surat Ad-Dhuha. Subhanallah, isinya membuatku tenang, tidak takut lagi karena di surat itu Allah berkata, Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tiada pula membencimu. Maka aku tidak takut lagi, lalu aku mengaku dan mengembalikan bunga itu pada Datuk Mahmud. Tetapi anehnya beliau justru tertawa. Aku juga suka baca Surat Ad-Dhuha kalau sedang kangen Umi dan Abi… Allah berkata di surat itu, Bukankah Dia mendapatkanmu dalam keadaan yatim, lalu Dia melindungimu.”

Saat itulah pertama kali Rasyid melihat Zahra menitikkan air mata mengingat kedua orang tuanya yang telah tiada. Persahabatan keduanya semakin erat, dari kecil hingga mereka beranjak remaja, mereka selalu belajar di sekolah yang sama. Rasyid dan Zahra pun masih sering mengobrol dan belajar bersama. Tentu saja tidak berkhalwat (berdua-duaan) di kebun seperti waktu kecil dulu. Rasyid biasa berkunjung ke rumah Zahra jika Bang Zul sedang ada di rumah. Mereka mengobrol bertiga dengan Bang Zul.

Suatu ketika, mereka bertiga keasyikan mengobrol di beranda rumah Zahra sampai menjelang Maghrib. Karena Bang Zul harus segera mengumandangkan adzan, Rasyid pun tahu diri pamit.
“Syid, lihat!” tunjuk Zahra ke arah langit rembang petang. Sinar jingga keemasan mulai berpadu dengan sutera hitam. Awan berarakan seperti hendak pergi bersama matahari. Mengantarkan burung-burung kembali ke sarangnya. Satu hari kembali ditutup dengan dramatis. Denyut sisi hari yang lain dimulai.
“Kenapa langit sore berwarna jingga, ya?” tanya Zahra sambil menatap langit. Seolah bertanya pada diri sendiri.
Nyak-ku selalu berkata, Subuh itu berwarna biru karena Subuh memang paling cocok berwarna biru. Itu warna terbaik yang Allah berikan untuk Subuh. Jingga pasti juga warna terbaik yang Allah berikan untuk sore,” Rasyid ikut menengadah menatap langit, “Tak peduli betapa sempurna suatu hari, toh akan berakhir juga”
“Ah, pepatah Inggris kuno!” Zahra mengibaskan tangannya, “Dan sungguh akhir itu adalah lebih baik bagimu daripada permulaan
“Ad-Dhuha ayat empat,” Rasyid tersenyum. Zahra masih seperti bertahun-tahun dulu, surat favoritnya adalah Surat Ad-Dhuha.
“Assalamu'alaikum,” Rasyid berbalik pergi.
“Wa'alaikumussalam, Rasyid.”

***

Banda Aceh, 2000
Rasyid menyenangi ibu kota provinsi yang lebih terlihat seperti kota kecil ini. Ia sudah cukup kerasan tinggal di Banda Aceh, sebab di sini terdapat laut-laut yang indah dan menarik seperti Lhok Nga yang berpasir putih dengan karangnya yang terkenal, Lampu’uk, Ujong Batee, bahkan Krueng Aceh. Dan tentu saja relatif lebih aman…

Rasyid menelan ludah. Luka empat tahun lalu itu belum sirna jua. Menggoreskan trauma mendalam dan sakit hati luar biasa. Dua hari setelah penyiksaan terhadap Bang Zul dan Zahra, keluarga Rasyid langsung meninggalkan rumah mereka begitu saja di Pidie, pindah ke rumah salah satu kerabat mereka di Banda Aceh, memulai hidup baru. Nyak dan Bapak sangat takut Rasyid akan menjadi sasaran --> sebab ia bersahabat dekat dengan Bang Zul dan Zahra, meski mereka semua tahu Bang Zul dan Zahra tidak bersalah apalagi terlibat awak ateuh. Kemungkinan besar mereka diciduk karena dakwah Bang Zul yang vokal mengkritik DOM (Daerah Operasi Militer) dan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap rakyat sipil dalam pembasmian GPK. Begitu juga Zahra yang pernah beberapa kali menulis artikel di koran lokal menyoroti tentang kekerasan yang dilakukan aparat di Kabupaten Pidie. Hingga sekarang, Rasyid tak tahu Zahra berada di mana. Entah masih hidup atau sudah mati. Jika sudah meninggal, belahan bumi manakah yang mendekap jasadnya? Rasyid tak tahu.

Sejak peristiwa tragis itu, bulan-bulan pertama Rasyid lalui dalam kedukaan yang sangat akan dua sahabat terbaiknya. Selama beberapa lama Rasyid mengalami trauma, merinding ketakutan tiap kali melihat orang berseragam loreng dan histeris tiap kali mendengar suara gedoran di pintu. Rasyid tak lagi berani menonton film laga, sebab semua adegan di film-film itu membangkitkan ingatannya akan adegan penyiksaan Bang Zul dan Zahra di subuh yang gelap. Rasyid depresi.

Setahun setelahnya, Rasyid perlahan kembali menata hidup. Ia kembali belajar dengan giat hingga akhirnya ia berhasil masuk Universitas Syah Kuala. Bapak mendapat pekerjaan baru di Banda Aceh. Kini keluarga Rasyid dapat mencicil sebuah rumah mungil di pusat kota Banda Aceh sehingga mereka tak perlu lagi menumpang pada kerabat. Kejadian di Pidie perlahan terlupakan, seiring pencabutan status DOM di Aceh dan semangat baru reformasi. Berbagai kasus pelanggaran HAM seperti yang dialami Bang Zul dan Zahra, lama-kelamaan di-peti es-kan. Begitu juga Rasyid, tak mau lagi membicarakan peristiwa itu. Bapak dan Nyak pun tak mengungkit lagi peristiwa itu sebab takut Rasyid kembali depresi.

Meski hidupnya kembali tertata, Rasyid tahu semuanya tak lagi sama bagi dirinya. Ia mengalami krisis kepercayaan terhadap Tuhan. Imannya tergoncang hebat. Rasyid tak akan pernah lupa, ketika Bang Zul memanggil-manggil Allah dan akhirnya aparat-aparat biadab itu tetap dapat membakarnya. Saat itu Rasyid dan seluruh warga juga memanggil-manggil Allah… namun mengapa pertolongan Allah tak datang? Jika seperti yang Bang Zul katakan bahwa Allah Maha Melihat, mengapa Allah tak menurunkan azab pada para iblis itu? Bang Zul yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk Allah, menghiasi malam-malamnya dengan sujud hingga membekaskan tanda di keningnya… mengapa Allah seolah tak sudi mendengar ratapannya? 
Kembali, adegan itu bagaikan sebuah slide film yang terus diputar ulang otaknya, membuat Rasyid makin mempercayai kata-kata komandan penangkapan waktu itu: Tuhan tidak ada hari itu. Atau mungkin Tuhan memang tidak ada, pikir Rasyid geram. Batin Rasyid tersayat setiap kali mengingat Zahra yang begitu mencintai Rabb-Nya, rajin ibadah dan bertakwa… mengapa Allah tak mengasihaninya barang sedikit pun?
Dan megahnya Masjid Raya Baiturrahman tak menggerakkan hati Rasyid untuk sekali pun berkunjung ke sana. Untuk apa? Rasyid sudah tak pernah lagi mendirikan shalat. Rasyid tak pernah lagi menyebut nama Allah.

***

Banda Aceh, Awal Januari 2005
Kota yang ia sukai itu luluh lantak tanpa sisa. Benar-benar tanpa sisa. Bahkan untuk dirinya. Rasyid terseok-seok melangkah di antara puing-puing bangunan. Tangannya mengais-ngais setiap jenazah, membolak-baliknya, berharap itu adalah jenazah Nyak atau Bapak. Rasyid terus mencari dan mencari hingga kakinya mati rasa, tak kuat lagi melangkah. Detik itulah Rasyid kembali menangis sejadi-jadinya.

Ya Allah, cobaan apa lagi yang hendak Engkau berikan padaku? Sampai kapan Engkau akan mengujiku? Apa salahku hingga Engkau memporak porandakan nasibku? Inikah hukuman dari-Mu setelah sekian lama aku mengkhianati-Mu? Cukup, ya Allah, cukup…

Ribuan nyawa melayang dalam satu hentakan gelombang air yang amat dahsyat. Bumi yang berderak hebat dengan gemuruhnya seolah sedang dijungkir balikkan oleh Tuhan. Seolah itulah saat mencicipi kiamat. Dunia mengingatnya sebagai Tsunami terparah abad itu.

Rasyid tak akan pernah lupa ketika ia terus berlari menyelamatkan diri dan sempat menengok ke belakang, gelombang air yang tinggi dan ganas mengejarnya seolah menunjuk-nunjuk batang hidung Rasyid sendiri,  
“Ini kuasa Tuhanmu yang engkau dustakan! Lihatlah, apa kau berdaya sekarang jika Ia hancurkan alam semesta dan dirimu? Kau akan mati dengan cara seperti Fir’aun!” Tanpa sadar saat itu Rasyid berdoa dalam hati, minta diselamatkan, minta diberi kesempatan, minta diampuni, seperti manusia pada umumnya.

Rasyid terus berjalan dan berjalan dengan tertatih. Entah berapa lama sudah ia berjalan, semakin jauh dari tenda pengungsian yang ia tempati selama seminggu terakhir. Tahu-tahu Rasyid sudah semakin dekat pusat kota Banda Aceh dan kakinya terpaku di tempat. Rasyid terkesiap, seolah kini tubuhnya tanpa rangka. Hilang bentuk.

Di kejauhan ia lihat Masjid Raya Baiturrahman masih tegak berdiri…
Detik itulah, Rasyid merasa Zahra dengan kerudung putih dan gamis putih berdiri dekat sisinya sambil menenteng mushaf yang biasa ia dekap dulu ketika pergi mengaji ke balee. Zahra membuka lembaran mushaf itu, dan suaranya yang merdu melantunkan sebuah surat.

Demi Dhuha

Di waktu Dhuha, saat matahari sepenggalah naik, bukankah Allah menunjukkan kuasa-Nya di hadapanmu, Rasyid? Bencana itu terjadi pada waktu Dhuha bukan tanpa sebab. Air mata menitik di sudut mata Rasyid.  

Dan demi malam apabila telah sunyi
Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tiada pula membencimu...

“Lihat Rasyid, Allah masih mencintaimu, menyelamatkanmu, meski kau membenci-Nya” Rasyid merasa seakan-akan Zahra sedang berbicara dengan pendapat-pendapat kritisnya seperti saban sore dulu.

Dan sungguh akhir itu adalah lebih baik bagimu daripada permulaan.
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya padamu, lalu hatimu menjadi puas

“Sebagaimana aku, percayalah pada janji Allah, Rasyid” Zahra tersenyum. Ujung kerudung putihnya melambai-lambai tertiup angin.

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?

“Kini kita sama-sama anak yatim, Rasyid. Tak punya siapa-siapa lagi. Tapi kita masih punya Allah,” kata Zahra dengan nada suaranya yang selalu terdengar optimis.

Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia menunjukkanmu
Dan Dia mendapatimu kekurangan, lalu Dia memberimu kecukupan...

Pertahanan Rasyid akhirnya roboh. Ia jatuh terduduk, menangis tergugu sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak kuasa Rasyid menahan, perlahan tubuhnya ikut menunduk, menunduk… dan jatuh dalam sujud. Rasyid mengaku kalah, Rasyid telah menyerah. Air matanya bercucuran tanpa henti memanggil-manggil nama Allah dalam sedu sedan. Allah, Allah, ini aku kembali pada-Mu ya Allah… aku telah pulang setelah pergi jauh… aku percaya sebagaimana Engkau memberi warna terbaik untuk subuh, seperti itulah Engkau telah memilihkan hidup terbaik untukku...

*Sekian*
Karya: Sarah Annisa
Sumber: Annida Online

Ini adalah salah satu cerpen yang membuat saya katarsis membacanya. Entah bagaimana dengan orang lain...

Senin, 17 Maret 2014

Aku Pulang



Terkait dengan hal-hal yang selalu mengingatkanku akan rumah, salah satunya ya ini, kuliner. Iya sih di Jogja banyak wisata kuliner, tapi aku kan bukan Pak Bondan yang dibayar untuk mencicipi berbagai macam kuliner sepuasnya. Tidak ada sponsor buatku rek.
Jadi gini, pertama, aku kan suka sama bubur kacang ijo. Nah, di Jogja, aku tuh seriiing ngidam bubur kacang ijo. Di sana banyak warung makan –semacam warungnya Nyi Fir gitu, namanya “burjo”. Firasatku, burjo itu akronim dari bubur kacang ijo, soalnya ya emang burjo-burjo jual bubur kacang ijo. Aku seneng banget nemu bubur kacang ijo di sana. Aku langsung beli tu. Pertama kali sih kesannya gak enak, mahal, dan gak manis. Terus aku nyoba bubur kacang ijo dari burjo satu ke burjo yang lain, bahkan sampe penjual bubur kacang ijo keliling. Soal harga yang bervariasi dan agak mahal wajar lah ya soalnya kan di kota. Tapi ternyata setelah aku telusuri, bubur kacang ijo di burjo itu cuma sebagai formalitas! Itu tu cuma sebagai sampingan mereka jualan nasi dan lauk!  Sebanyak itu, ngga ada yang bisa memuaskan lidahku. Kurang manis, kurang kentel, santennya terlalu encer, kacang ijonya masih keras, kebanyakan air, ketan itemnya jelek, ga dikasih es batu, penjualnya kurang tulus, orangnya gak ramah, dan adaaa aja pokoknya. Terus aku bengong, sedih. Inget bubur kacang ijonya Mak Tun, Mbak (kalo Mbak Ani baca). Di sini Rp500,- udah kenyang, manis, dikasih es, rasanya pas, dan kadang digratisi lagi sama Mak Tun. Inget dulu waktu MI kalo belajar kelompok di meja bundar (belakang MTs, kawasannya Mbak Ani, Indah atau Unah), snacknya bubur kacang ijo buatan Mak Tun. Bahkan sampe lulus Aliyah, waktu masih dagdigdug nunggu kejelasan status juga masih sering pesen bubur kacang ijo. Terakhir kali makan bubur kacang ijo Mak Tun itu pas libur semester kemarin. Dan sekarang aku pengen lagi...
Kedua, pepaya, pisang, dan jeruk Medan. Tiga buah spesial yang terukir di hatiku. Sekarang aku lupa kapan terakhir kali makan pepaya, hiks... hiks...
Pisang, banyak sih pisang, tapi di sana aku jarang makan pisang, soalnya sering sariawan. Tau kan rasanya makan pisang waktu sariawan? Kayak makan kulit durrrreeeen!
Abis itu kalo sariawan begitu tuh selalu inget jeruk Medan. Pengen beli, tapi tu susah juga nyari jeruk Medan di pasar yang deket pondok. Terus, masa tiap pengen jeruk Medan harus beli, lha kayak udah mapan aja hidupku. Mana tirakatnya??? (nggaya :-P). Terakhir kali makan jeruk Medan itu kemarin pasca erupsi Kelud. Ada temenku namanya Kartina, dia orang Medan. Waktu ke Jogja dia bawa jeruk Medan (jeruknya masih ada bekas abu Sinabungnya lho, jadi itu bener-bener asli dari Medan). Aku dikasih satu, tapi kurang, jadi minta satu lagi deh, hehe. Jadi inget waktu di MA, dulu Rini pernah ngasih jeruk Medan waktu aku lagi sariawan berat. Terus, sering juga dapet jeruk Medan kalo tetangga-tetangga pulang dari Jakarta. Yah, bengong lagi, kangen rumah.
            Ketiga, sosis dan donat. Sulit menemukan sosis harga Rp500,-an. Ada mungkin di sekolah-sekolah. Pernah juga nemu di sunmor, tapi harganya Rp600-an. Ya gimana ya, gak sreg aja gitu. Masa’ pake ngganjel sih seratusnya. Ada juga di kantin, udah ditusuk dan digoreng, isinya tiga, setusuk itu harganya Rp4000,- kalo ga salah. Hah? Kebanyakan ngambil untungnya itu Bu! (seruku dalam hati).
Tapi ada temenku namanya Ari, cewek, orang Jogja, baik banget. Aku pernah dibawain sekotak makan sosis ke kampus, lengkap sama saosnya. Enak to? Alhamdulillah ya...
Terakhir donat. Ya ampun Mbak Puput (kalo mbak Puput baca), aku kangen banget sama donatnya Bu Atin. Di sana ada donat enak mbak, tapi harga per buahnya Rp34.000,- gimana? Aku sih langsung kenyang lihat harganya, jadi gak usah beli. Ada juga yang murah, dari mulai Rp500,- sampai Rp5000,- tapi lagi-lagi gak bisa memuaskan lidahku Mbak. Kurang manis, rotinya keras, mesesnya abal-abal, rotinya sedikit, teksturnya gak lembut, anyep, bikinnya gak pake perasaan, penjualnya cuek, dan adaaa aja pokoknya. Huft! Kalo di sini kan bisa makan donat enak dan gratis lewat mbak Puput.
            Itulah sebagian kecil alasan mengapa kemarin aku tiba-tiba pulang. Mungkin aku homesick. Home-rumah, sick-sakit. Aku sakit rumah.
Makasih buat kalian yang sudah sangat perhatian menanyakan keadaanku,
 #akurapopo.
Mohon doanya ya ^_^

(diposting di fesbuk as a note)

Selasa, 04 Maret 2014

TRIP



“Kalau suatu saat pikiranmu jenuh, sambangilah Indrayanti. Dia akan membuatmu lupa dengan masalahmu. Dan kau tak kan bosan dengannya.” Mungkin akan begitu adanya kalau kau datang bukan di saat teriknya matahari dan berjubelnya pengunjung. Indah memang. Tapi tak bisa dinikmati. Akunya sendiri mungkin. Terlalu banyak orang yang menjamahnya. Bahkan tuk menjangkau ke bagian lain pun sulit. Ya, itulah mungkin karena saking indahnya makanya sampai seperti itu.
            Tapi dari sekian banyak pantai yang dilewati kemarin, hanya satu pantai yang amat sangat nyaman disinggahi. Sepanjang namanya. Pemandangannya sih biasa saja. Hanya laut dan rumput laut, sudah. Tak seeksotis Indrayanti yang memang padat pengunjung.
            Tapi Sepanjang memiliki keunikan yang khas. Yang tak dimiliki Indrayanti. Ya, ketenangan dan keteduhan yang membuat siapa pun akan betah berlama-lama singgah di sana. Bercengkrama, melepas pikiran, melepas penat, dan menikmati degan. So sweet pokoknya.
                                                            Jogja, 3 Maret 2014