Kamis, 30 Januari 2014

Resensi Cerpen "GOLOK"

 GOLOK
            Berdakwah merupakan tugas wajib bagi setiap umat Islam dimana pun dan kapan pun. Dua komponen dakwah yang paling utama adalah menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Setiap orang bisa saja menyuruh kepada kebaikan namun jarang yang berani mencegah kemungkaran. Rasulullah bersabda, “Barang siapa melihat suatu kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu, apabila tidak sanggup maka rubahlah dengan lisanmu, apabila tidak sanggup maka rubahlah dengan hatimu (doa). Dan itu adalah selemah-lemahnya iman”.  Sebelum menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, ada satu tugas berat yang harus dilakukan yaitu menyebarkan agama Islam.
            Cerpen “Golok” karya Bokor Hutasuhut ini adalah kisah tentang seorang pendatang yang sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang muslim untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di suatu tempat yang kebanyakan penduduknya masih memeluk kepercayaan lama daerah setempat yaitu Pelbegu. Pendatang yang dimaksud adalah “aku” dan ayahnya, Parmanap. Tokoh “aku” adalah orang ketiga serba tahu yang menceritakan ayahnya.
 Parmanap sebagai tokoh utama membawa tugas yang cukup berat dan  tentu saja penuh rintangan  terutama dari Ama Ni Ranggas,  kepala suku penduduk setempat. Tapi perlahan-lahan ia sanggup mengatasinya, bahkan Ama Ni Ranggas akhirnya bersedia memeluk Islam dan memerintahkan penduduknya untuk memeluk Islam sebagaimana yang terdapat pada kutipan berikut:
“Kalian semua menyaksikan, aku kalah. Sebagai lelaki janji harus ditepati. Kita semua harus rela meninggalkan Pelbegu dan memeluk Islam. Siapa yang tidak setuju silahkan meninggalkan kampung ini.”
            Cerita ini menarik karena bertemakan ketuhanan dengan berbalut unsur kedaerahan yang sangat kental. Tema ketuhanan sangat terasa dan mendominasi. Begitu juga sifat-sifat kedaerahan dengan unsur-unsur mistik yang masih terdapat di dalamnya. Penulis memang tidak menceritakan secara rinci dimana peristiwa tersebut berlangsung. Tapi dilihat dari nama-nama tokoh dan asal tempat penulis, dapat diketahui bahwa cerita tersebut berlatar tempat provinsi Sumatera Utara tepatnya di daerah pedalaman. Dapat ditebak dari daerah asal penulis, karena bagaimana pun seorang penulis tidak pernah bisa lepas dari latar kedaerahannya. Alur yang disajikan pun runtut sehingga pembaca tidak perlu dipusingkan untuk mencerna alurnya.
            Pemilihan judul yang dilakukan oleh penulis menimbulkan rasa penasaran sekaligus rasa ngeri dan membuat pembaca bergidik karena menggunakan nama senjata tajam yaitu “GOLOK”. Cerita yang baik memang seperti itu –yang judulnya menimbulkan rasa penasaran sehingga menimbulkan rasa ingin membaca. Tapi mengapa golok? Karena memang senjata khas daerah tersebut adalah golok. Golok sendiri melambangkan keperkasaan dan kekuatan bagi lelaki.
Membaca cerpen  ini mengingatkan saya pada cerita Nabi Musa ketika beliau diperintahkan Tuhannya untuk menyeru Fir’aun menyembah Allah. Tidak beda jauh cara yang digunakan antara Nabi Musa dan Parmanap –ayah “aku”. Memang seperti tidak masuk akal ketika Nabi Musa melempar tongkatnya kemudian berubah menjadi ular dan menelan tali-tali yang diserupakan menjadi ular oleh para penyihir suruhan Fir’aun. Begitu juga yang dilakukan Parmanap ketika ditantang oleh Ama Ni Ranggas untuk dapat mengucurkan darah dari tubuh saktinya. Bagaimana mungkin tubuh yang tidak mempan oleh senjata tajam ternyata dapat terluka oleh batangan padi? Yang dialami Parmanap disebut karomah, sedangkan yang dialami Nabi Musa disebut mukjizat. Yang membedakan lagi adalah akhir dari ceritanya. Dalam kisah Nabi Musa, Fir’aun tetap tidak mengikuti ajaran Nabi Musa. Sedangkan dalam cerita ini, tokoh Ama Ni Ranggas menepati janjinya untuk meninggalkan kepercayaan lamanya dan mengikuti agama yang dianut oleh Parmanap. Namun secara garis besar, cerita keduanya hampir sama yaitu dalam rangka menyebarkan agama tauhid. Kemungkinan besar, penulis terinspirasi dari kisah Nabi Musa.
Dengan menulis cerita ini, penulis juga termasuk berdakwah. Berdakwah lewat tulisan.
Cerpen GOLOK dimuat dalam majalah HORISON edisi Juli 2013.
                                                                   Jogja, 16 Oktober 2013

Api Kecil Katamu?



Sekali lagi, aku kehilangan
Seharusnya ini bukan kehilangan yang besar
Karena  mendapatkannya adalah ketidaksengajaan

Percayalah, aku tak bermaksud menyia-nyiakannya
Ini hak
Ketika sebuah benda ada di tangan kita, antara menjaga, menjatuhkan, melempar, atau menyimpannya adalah sepenuhnya hak kita

Lagipula kau!
Bukankah dulu sudah kukatakan, aku sudah lelah bermain ”api”
Aku pernah terbakar
Habis dan gosong
Hanya arang yang tersisa
Dan aku menyesal, seharusnya tidak

Api yang kau sulut
Kau lemparkan padaku
Kau katakan, “Tak apa, itu hanya api yang kecil”

Harusnya otakku waras pada saat itu juga
Maka aku pasti paham bahwa sekecil apapun api, tetap mampu memicu kebakaran
Dan kulemparkan api itu ke bajumu
Agar kau rasa akibat dari api kecil yang kau remehkan

Hanya api,
Seharusnya bukan

Apa? Api kecil katamu?



Yogyakarta,  4 November 2013

URANUS (note lama)

Sedang minus
Sedang kekurangan vitamin penambah semangat
Malas semalas-malasnya
Aku sedang berada di luar garis edar
Menggila
Merusak semua tatanan harusnya tertata rapi
Mengobrak-abrik orbit yang semestinya

Atau memang inilah aku?
Uranus

Lelah Ya Allah
Kembalikan aku ke suasana yang tertata rapi
Cukup lama menggila, dan aku bosan

Satukan aku dalam jasadku yang dulu
Jasad yang terpaksa dan terkekang
Karena tak ada pembebasan
Di tempat yang bebas



Yogyakarta, 11 November 2013

Lomba Essai (pikirku)




Ini adalah tulisan tentang keunikan pondok pesantren Al-Barokah yang saat ini sedang kutempati. Tulisan yang membuat kepalaku pening akibat masalah jangka panjang yang ternyata  ditimbulkan terkait hal ini.
Kontes Miss Alba, katanya.


Tentang pesantren yang sedang saya tempati, satu halaman hanya cukup membicarakan dua hal yang menurut saya paling unik di sini. Yang pertama adalah penataan gedung yang belum pernah saya dapati di pesantren lain. Awalnya sempat teracuni pikiran negatif ketika pertama kali datang ke sini. Bagaimana pondok putri dan pondok putra hanya terpisah beberapa langkah dengan tanpa ada pagar atau penghalang yang membatasi antara dua jenis yang rawan tersebut? Apakah kondisi ini tidak mengundang berbagai pemasalahan santri yang kaitannya dengan masalah ajnabiyyah? Biasanya, di pesantren-pesantren lain yang letak bangunannya berjauhan saja masih sering kecolongan, bagaimana dengan penataan seperti ini?
            Itu awalnya. Seiring pengamatan saya, ternyata di pondok ini nyaris tidak terjadi seperti apa yang saya pikirkan. Bahkan banyak sekali antara santri putri dan santri putra tidak saling mengenal. Bagaimana terjadi kasus kalau mengenal pun tidak. Mengingatkan saya pada qoidah, “Al amru idza dhoqot ittasa’at, wa  idzat-tasa’at dhoqot”. Sesuatu apabila dibatasi justru akan meluas dan jika diperluas justru semakin terbatas. Inilah bukti yang nyata yang membuka mata saya untuk lebih  banyak beajar dari realitas, menilai lebih kepada substansi bukan fisik belaka.
Yang kedua, biasanya di pesantren salaf hanya ada dua penjurusan, kalau tidak tahfidzul Qur’an ya pematangan kitab kuningnya. Kalau di sini dua-duanya menjadi komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Santri yang mau belajar kitab wajib menghafal Qur’an (meskipun juz terakhir saja), begitu pula santri yang menghafal Qur’an pun wajib belajar kitab. Belajar kitabnya juga unik. Kebanyakan kitab yang diajarkan adalah kitab-kitab dasar dan pemula. Namun materi dan pelajaran yang didapat bukan sebatas pelajaran tingkat awal maupun tingkat akhir. Yang didapatkan justru lebih luas dan dalam dari pada sekedar tingkatan-tingkatan.
            Semoga tak ada yang sia-sia memilih Al-Barokah menjadi tempat berpijak dan sarana  melangkah untuk masa depan. Percaya barokah dapat membantu? Tentu saja, santri gitu loh!

Tiada kesuksesan tanpa kemauan, usaha, doa, dan ridho Allah.